Selasa, 29 Januari 2013

Puisi

GELAP

Meronta tak dapat obati luka 

Menangis tak dapat hilangkan sakit

Berdiam tak sanggup menahan pedih

Perih... yang harus kutanggung sendiri

Berdiri kelemasan menahan luahan rasa

Sepi...   Hampa...

Tersudut di ruang gelap hati ini...

GELAP...

 


Rabu, 16 Januari 2013


NASKAH FRAGMEN
Judul                          : Tunas Bangsa
Tokoh                         :
1.      Sari (Anak dari keluarga yang miskin)
2.      Jamal (kakak Sari)
3.       Untung (teman Jamal/ anak nelayan)
4.     Sekar (anak sekolah/ anak orang kaya/ teman Sari )
5.     Wulan (anak sekolah/ anak orang kaya/ Teman Sari)
Properties                   : payung, pancing, topi, buku, ember
            Di depan sebuah rumah yang sangat sederhana, di tepi Jl. Tunas Bangsa terdapat sebuah pohon besar dan rindang. Di bawah pohon itulah Sari menghabiskan hari-harinya untuk merenung, menghayal, menorehkan mimpi-mimpi indahnya serta melampiaskan keluh kesahnya. Terkadang ia menyalahkan takdir yang membuatnya terlahir di tengah keluarga miskin. Sedang ia memiliki mimpi yang sangat tinggi untuk Bangsa ini.
Siang itu sang Surya enggan menampakkan diri, tak jauh berbeda dengan perasaan Sari. Kabut  hitam berselimut di langit hatinya.
Sari                                 
:
(membuka-buka buku sambil mondar-mandir. Sesekali menatap langit seperti sedang  berfikir). “Seandainya…. Seandainya aku bisa…. Hmmm… Seandainya aku jadi….”
Jamal
:
(Tiba-tiba muncul dari belakang). “Kau mau jadi apa?”
Sari
:
(kaget. Sedikit kikuk). “Hmmm… anu mas… aku pengen…”
Jamal
:
(membentak). “Apa?”
Sari
:
(agak takut). “Hmmm… seperti mereka. Bisa sekolah, punya cita-cita…”
Jamal
:
“kamu mimpi?” (merebut buku Sari dan merobek-robeknya dengan kesal dan membuangnya).
Sari
:
(memungut buku yang sudah robek dan menatap Jamal dengan marah). “Mas Jamal! Kenapa di robek-robek bukunya?”
Jamal
:
(marah). “Karena buku ini yang telah membutakanmu. Membuatmu lupa siapa kita. Kita ini anak orang miskin. Mau makan saja susah.”
Sari
:
“(menangis). Tapi buku ini dari Sekar. Dia bilang, siapapun boleh bermimpi. Sekar pasti marah kalau tau bukunya robek. Mas Jamal Jahat!” (lari meninggalkan Jamal diiringi hujan deras serta petir dan halilintar yang menyambar).
Jamal
:
(mengepalkan kedua tangan dan terduduk lemas di tengah derasnya hujan). “Ya Allah, kenapa jadi begini? Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti hatimu, Sari. Aku hanya ingin kau tau…”
Untung
:
(Membawa ember dan pancing. Menghampiri Jamal dan menepuk bahunya). “Kenapa kamu, Mal? Hujan deras begini sendirian di pinggir jalan”.
Jamal
:
(berdiri dan menatap Untung). “Aku berantem lagi sama Sari”.
Untung
:
“Ada apa to? Saudara Cuma satu kok pakek berantem segala…”
Jamal
:
(menghela nafas). “Sari masih saja terus bermimpi untuk bisa sekolah. Aku bosan melihatnya. Kau tau kan keadaan kita bagaimana?”
Untung
:
“Hidup kita ini udah susah, Mal… jangan dibikin susah lagi. Dibikin enak aja.”
Jamal
:
“Maksudmu apa, Tung?”
Untung
:
“Ya seperti aku ini. (membentangkan dua tangannya yang memegang pancing dan ember). Nggak bisa sekolah ya mancing-mancing dapat ikan dijual lumayan kan? Dapat duwit. He.. he… he… selaluuu… saja Untung.”
           Sekar dan Wulan pulang sekolah dengan pakaian seragam yang rapi dan membawa payung. Mereka menghampiri Jamal dan Untung yang basah kuyup di pinggir jalan.
Sekar
:
“Mas Jamal, mas Untung kenapa hujan-hujanan seperti ini?”
Wulan
:
“Sepertinya mas Jamal sangat sedih? Ada apa?”
Jamal
:
“Ini semua gara-gara kalian! Kalian kan yang mengajari adikku berkhayal tinggi-tinggi? Kalian ngerti kan kalau aku dan Sari nggak mungkin bisa sekolah seperti kalian!”
Sekar
:
“Mas Jamal ini bicara apa sih?”
Wulan
:
“Iya. ada apa ini sebenarnya?”
Untung
:
“Dia tadi berantem sama Sari. Soalnya Sari itu nggak pernah mau menyadari kalau mimpinya itu cuma mimpi di siang bolong. Nggak akan pernah kesampaian.”
Sekar
:
“Astaghfirullah… mas Untung jangan bilang begitu. Semua orang itu berhak punya mimpi.”
Jamal
:
“Omong kosong!”
Wulan
:
“Beneran, Mas Jamal. Tak kasih tau ya, Mas. Di Sekolah itu ada Bea siswa untuk anak yang kurang  mampu.”
Sekar
:
“Iya, bener tuh kata Wulan. Jadi mas Jamal dan Sari juga bisa sekolah. Karena anak-anak seperti kita ini adalah Tunas-tunas Bangsa ini. Jadi semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak.”
Jamal
:
“Oh ya? Aku nyesel udah bentak-bentak Sari. Harusnya aku bisa sedikit lebih sabar.”
Wulan
:
“Sekarang Sari kemana, Mas?”
Jamal
:
“Tadi dia sangat marah dan berlari ke arah sana.” (menunjuk arah jalan).
Sekar
:
“Masya Allah! Kasihan Sari. Ayo, lebih baik kita segera mencari Sari.”
Jamal dan Wulan
:
“Yuk!” (bergegas pergi).
Untung
:
(celingukan). “Weleh… weleh… kok aku ditinggalin sendirian to? Oh iya, berarti aku juga bisa sekolah dong? Hoeee…! Tungguuuu….! Aku ikuuut!” (berlari mengejar teman-temannya).

~SELESAI~