Putih. Samar-samar kulihat, putih. Kenapa semua serba putih di mataku? Ku
putar bola mataku ke sekeliling ruangan. Semua serba putih. Atap itu putih,
dinding itu putih, ku raba sehelai selimut yang menutup tubuhku, kupandangi
lekat-lekat, putih juga. Oh Tuhan! ada apa denganku? Kenapa ada jarum tertusuk
di pergelangan tanganku? Ku amati selang yang mengalir cairan merah di
dalamnya. Semakin ke atas terlihat olehku sebuah benda menggantung dengan
setengah cairan merah di dalamnya. Tapi tiba-tiba kepalaku sangat pusing. Ugh..
sakiiit sekali. Kulihat lagi seorang perempuan cantik berpakaian putih dengan
topi putih di kepalanya masuk melihatku dan kemudian keluar lagi. Siapa dia?
Kali ini perempuan itu masuk lagi dengan laki-laki berpakaian putih pula. Laki-
laki itu tersenyum menatapku, teduh wajahnya.
“kamu
sudah siuman?”
“dokter?
Apa yang terjadi denganku?”
“tadi ada yang membawamu ke sini dan bilang bahwa kamu
mengalami kecelakaan. Ada keluarga yang bisa saya hubungi?”
“ja.. ja.. ngan.. mm.. maksudku tidak ada”.
“hmm.. baiklah kalau begitu”.
Dokter itu
menatapku heran dan entahlah setelah melihat keadaanku, dia keluar tanpa
berusaha bertanya-tanya lagi. Entahlah apa yang dia pikirkan tentangku. Mungkin
dia heran dengan sikapku. Mungkin aku adalah satu-satunya pasien teraneh yang
pernah ia temui. Karena orang sakit dimanapun selalu ingin ada yang datang
menjenguk dan menemani. Tapi aku tidak. Ada dua hal yang membuatku begini.
Pertama, pasti ayah akan menyalahkan aku yang tidak hati-hati naik motor lah,
sembrono lah bla.. bla... bla.. and so on.
So, jika dijenguk ayah, aku akan
tambah sakit. Kedua, melihat kondisi
keuangan ayah dan ibu, yang aku tahu hutang ayah sepikul untuk modal dagang
yang belum lama bangkrut. Pasti akan jadi ga karuh-karuhan keadaannya. Lebih
baik aku nikmati saja sakitku ini sendiri.
“ mbak, HP nya
berbunyi”.
Suara lembut perempuan
cantik, orang yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata, yang ternyata ia
adalah seorang perawat tiba-tiba singgah diteligaku. Membuyarkan
barisan-barisan kata di benakku.
“assalamu’alaikum.
Ibu ada apa?”
“In, kamu sedang
apa sekarang?”
“emmm... anu bu...
mm.. Indah sedang kerja. Ada apa ya, bu?”
“semanjak kamu kerja di kota, belum pernah hati ibu
seresah ini. Apakah kamu baik-baik saja, In?,”
“ bb.. baik, bu. Baik. Ibu jangan khawatir. Sudah ya, bu.
Indah kerja dulu”.
Ya
Rabb... ampuni aku yang harus membohongi ibu. Sungguh aku takut ibu khawatir.
Masih tampak jelas di mataku, pertengkaran demi pertengkaran menghiasi
hari-hari ayah dan ibu semenjak usaha dagangnya bangkrut. Kini mereka sedang
berfikir keras untuk membayar hutangnya yang 30 juta di BANK. TV dan kulkas
yang kami miliki terjual sudah. Tapi apalah artinya kedua benda itu dibanding
dengan jumlah hutang ayah.
“kenapa
kamu membohongi ibumu?”
Lagi-lagi
ada orang yang membubarkan lamunanku. Dokter itu... kapan dia masuk? Dengan
senyum yang selalu menghias di wajah teduhnya, kembali dia memeriksa keadaanku.
“kenapa
diam?”
Seperti sungai di musim kemarau. Tenggorokanku
kering, terasa begitu berat bagiku untuk berkata-kata. Aku tidak tau harus
berkata apa. Tidak mungkin aku ceritakan keadaan yang sebenarnya. Tapi apa aku
harus diam saja? Duh, pusing di kepalaku kini menjadi tiga kali lipat.
“ya
sudah kalau keberatan untuk menjawab, lebih baik kamu istirahat. Sudah malam”.
Ku tatap kepergian dokter dan
perawat itu. Terdengar samar-samar percakapan mereka yang dibuat sepelan
mungkin. Tapi telingaku masih sanggup menangkapnya, bahwa sepertinya perawat
itu mengkhawatirkan tentang siapa yang akan menyelesaikan administrasiku, jika
tak ada keluarga yang tau tentang hal ini.
Lalu... aku harus bagaimana? Sesungguhnya aku sendiri juga ga punya cukup
uang. Kurasa lebih baik aku segera pergi saja dari Rumah Sakit ini. Mumpung
keadaan sepi. Ku cabut jarum yang ada di pergelangan tanganku. Akhh.. darah tercecer di ruangan putih itu. Dengan
sempoyongan menahan sakit, aku terus berusaha untuk lari. Dan... akhh... mataku
berkunang-kunang... lalu... GELAP.
“akhh... kepalaku sakit sekali”
Kubuka
mataku pelan. Dan kutemukan diriku kembali di ruangan serba putih. Aneh sekali.
Bukankah semalam aku sudah kabur? Kok aku masih di sini...
“Ke
napa? Kamu bingung? Kalau boleh saya tau, apa alasan kamu
kabur?”
Lagi-lagi
aku tidak mengerti harus menjawab apa.
Aku benar-benar seperti gadis bodoh. Lama aku terdiam, berfikir keras
untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan dokter itu.
Akh.. tapi tak jua kutemukan sepatah kata pun. Lalu kuperhatikan dokter itu.
Sepertinya dia juga sedang memperhatikan aku dengan heran. Kulihat keningnya
berkerut. Mungkin saja dia sedang menunggu jawabku. Dan semakin lama sepertinya
semakin bosan menungguku yang membisu. Ingin sekali aku memaki diriku yang
sangat bodoh ini.
“Dokter
mana yang mau merawat pasien secara cuma-cuma?”
Entahlah... kenapa
kata-kata itu yang tiba-tiba terucap oleh lidahku. Aku tak bisa berfikir lagi.
Entahlah aku tidak mengerti. Apakah kata-kata itu tepat untuk aku katakan. Tapi
kulihat dokter itu tersenyum menatapku. Wajah teduhnya menenangkan batinku. Hilangkan
sejuta kegalauan di jiwaku.
“Dokter yang ada di
hadapanmu ini yang siap merawatmu secara cuma-cuma”,
Sungguh tidak
kusangka. Hari gini, ada dokter yang mau gratisan di dunia nyata ini. Seperti
di senetron saja. Aku gelengkan kepalaku pelan. Sepertinya aku tidak percaya
dengan kata-kata dokter itu. Barangkali saja aku yang salah dengar.
“Dok, ada yang
mencari”
Perawat cantik itu
muncul lagi dengan senyum ramahnya. Masih secantik yang pertamakali aku lihat.
“siapa?
“tidak tau, Dok.
Seorang perempuan. Tadi saya suruh nunggu di luar”,
Belum sempat dokter
itu keluar, perempuan yang mencari itu sudah masuk. Dokter tampan nan rupawan
itu tiba-tiba wajahnya tak seteduh sebelumnya. Dia tampak kaget dan sangat
tidak suka dengan kehadiran perempuan itu. Tapi kulihat dia meliriku sebentar.
Munkin dia tidak enak terhadapku. Dan dia mungkin tidah suka dengan perempuan yang
tidak sopan menemuinya saat dia menangani pasien.
“untuk apa kamu
kesini?”
Oh ternyata dokter
tampan yang wajahnya teduh itu bisa marah dan ketus juga. Siapa perempuan itu.
Kenapa dokter itu sepertinya sangat membencinya. Perempuan itu sangat cantik.
Lebih cantik dari perawat tadi. Bajunya terkesan mahal. Sepertinya orang kaya.
Tapi di wajah cantiknya aku melihat, sepertinya ada gambaran kesombongan dan
keras kepala dari cara dia memandang.
“apa alasanmu
menolak pertunangan kita?”
“kamu bicara apa?
Aku sedang menangani pasien”,
“lebih pentingkah
dia dibanding pertunangan kita?”
“tentu saja”,
“Maksudnya?”
“karena dia
adalah... pasien... hatiku...”,
Pasien hati? Dokter
itu bicara apa? Apa maksudnya bilang bahwa aku pasien hatinya? Aku sungguh
tidak mengerti. Apakah dia jatuh hati padaku? Oh tidak. Itu tidak mungkin. Aku
hanya gadis miskin yang dia kasihani. Bukan dikasihi. Aku tidak boleh bermimpi
macam-macam. Karena aku tidak pantas untuk seorang dokter setampan dia. Mungkin
saja dia bicara seperti itu untuk bersandiwara agar perempuan sombong itu tidak
mengharapkannya lagi.
“apa? Perempuan kampungan seperti itu, kamu bilang pasien
hatimu? Fauzii... kamu sadar dengan yang kamu katakan? Apa kurangnya aku
dibanding dia?”
“sudahlah, Santi.
Jangan ganggu hidupku lagi. Aku memang tidak pernah menyukaimu”.
Oh.. ternyata dokter
tampan itu bernama Fauzi. Dan perempuan sombong itu bernama Santi. Duh,
sepertinya perempuan sombong itu sangat marah. Dia memandangku sangat sinis
penuh kebencian. Dan pergi begitu saja sambil membanting pintu kamarku. Dokter
Fauzi menatapku lagi. Mau bicara apa dia? Duh, kok aku jadi serba salah seperti
ini? Hatiku juga deg-degan. Ku coba untuk biasa saja. Tapi aku semakin bingung
harus bersikap seperti apa? Oh Tuhan...
“kenapa? Kamu bingung dengan ucapanku tadi? Itulah kenapa
aku mau mengobatimu secara cuma-cuma. Karena kamu adalah pasien hatiku. Kamu
mau kan menikah
denganku?”
Aku sebenarnya under mind untuk
berkata iya. Aku sadar bahwa aku tidak pantas untuknya. Tapi entahlah ada suatu dorongan yang memaksaku untuk tidak
berkata “TIDAK”. Keping hatiku yang rapuh ini terasa tentram melihat wajah
teduhnya. Tak ada dayaku untuk menolaknya.
Dan akhirnya aku pun tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Wajahkupun merona
seperti seorang putri yang sedang jatuh cinta, tersenyum, tersipu di hadapan
pangeran cintanya. Aku lupa dengan siapa aku yang sebenarnya.
“pasien hatiku...”,
“dokter
cintaku”.
Benar kata temanku
sewaktu SMA dulu. Ketika aku mulai bergabung di ROHIS (Rohaniah Islamiah) yang
waktu itu aku belum berjilbab dan masih pacaran. Aku di suruh baca buku yang
judulnya “Indahnya Pacaran Setelah Menikah”. Kali ini benar-benar merasakan
betapa indahnya pacaran setelah menikah. Bersama mas Fauzi hidupku terasa
begitu indah. Ketika jalan berdua, masih seperti ABG yang sedang pacaran.
Apalagi aku dan mas Fauzi juga belum begitu kenal. Sehingga banyak topik yang
bisa menjadi bahan pembicaraan. Keromantisan sikap mas Fauzi terhadapku di
hadapan orang-orang menjadi kebanggaan bagiku. Tidak seperti pacaranku waktu
SMA dulu. Ketika tanganku digandeng saja aku sudah sangat gelisah. Takut kalau
ada yang melihat.
“pasien hatiku”,
“dokter cintaku”
“aku akan selalu
ada saat kau terluka”,
“luka dan perih
dalam hatiku selalu sirna saat kau disampingku”,
Mas Fauzi memang
benar-benar dokter cintaku. Tidak hanya mengobati luka di kepalaku saat aku
kecelakaan dulu. Tetapi dia juga telah mengobati sekeping hati dari hati yang
telah hancur dan rapuh. Hati yang sekian lama tidak mengenal cinta. Karena
semenjak orangtuaku mengalami musibah, tidak ada lagi kasih sayang dalam
keluargaku. Tidak ada kedamaian di sana. Hingga terkadang aku menyalahkan
takdir. Menganggap Allah tidak adil. Meski banyak teman yang menasehatiku bahwa
itu hanyalah ujian semata. Dan berkali-kali aku mendengar nasehat “ In, Allah
berfirman, bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan”. Tapi kata-kata itu
hanya seperti angin lalu. Karena waktu itu ayah sangat kasar sikapnya padaku.
Ayah menganggapku sebagai beban hidup. Sehingga ayah harus banting tulang untuk
mencari biaya hidupku. Dan aku dikatakan sebagai benalu dirumahku sendiri.
Waktu itu aku menyalahkan Allah yang melahirkanku ke dunia lewat rahim seorang
ibu yang cuek dan seorang ayah yang kasar. Namun sekarang, “Nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang engkau dustakan?” firman Allah dalam Q.S. Ar Rahman itu
selalu terngiang di kepalaku.
Duhai
Allah...
Betapa
banyak nikmatmu yang telah aku lupakan...
Ujian
yang hanya sejenak itu telah butakan hatiku...
Hatiku
yang rapuh telah hancur-berkeping-keping....
Duhai
Allah...
Ampunkanlah
aku...
Yang
telah lama melupakan-Mu...
Kini
aku kembali dalam sujudku kepada-Mu
Lihatlah...
dengarlah jerit tangis perihnya....
Duhai
Allah...
Sucikan
kembali SEKEPING HATI yang penuh noda ini....
By: Inn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar