Sabtu, 10 November 2012

SEKEPING HATI


            Putih. Samar-samar kulihat, putih. Kenapa semua serba putih di mataku? Ku putar bola mataku ke sekeliling ruangan. Semua serba putih. Atap itu putih, dinding itu putih, ku raba sehelai selimut yang menutup tubuhku, kupandangi lekat-lekat, putih juga. Oh Tuhan! ada apa denganku? Kenapa ada jarum tertusuk di pergelangan tanganku? Ku amati selang yang mengalir cairan merah di dalamnya. Semakin ke atas terlihat olehku sebuah benda menggantung dengan setengah cairan merah di dalamnya. Tapi tiba-tiba kepalaku sangat pusing. Ugh.. sakiiit sekali. Kulihat lagi seorang perempuan cantik berpakaian putih dengan topi putih di kepalanya masuk melihatku dan kemudian keluar lagi. Siapa dia? Kali ini perempuan itu masuk lagi dengan laki-laki berpakaian putih pula. Laki- laki itu tersenyum menatapku, teduh wajahnya.
            “kamu sudah siuman?”
            “dokter? Apa yang terjadi denganku?”
“tadi ada yang membawamu ke sini dan bilang bahwa kamu mengalami kecelakaan. Ada keluarga yang bisa saya hubungi?”
“ja.. ja.. ngan.. mm.. maksudku tidak ada”.
“hmm.. baiklah kalau begitu”.
Dokter itu menatapku heran dan entahlah setelah melihat keadaanku, dia keluar tanpa berusaha bertanya-tanya lagi. Entahlah apa yang dia pikirkan tentangku. Mungkin dia heran dengan sikapku. Mungkin aku adalah satu-satunya pasien teraneh yang pernah ia temui. Karena orang sakit dimanapun selalu ingin ada yang datang menjenguk dan menemani. Tapi aku tidak. Ada dua hal yang membuatku begini. Pertama, pasti ayah akan menyalahkan aku yang tidak hati-hati naik motor lah, sembrono lah bla.. bla... bla.. and so on. So, jika dijenguk ayah, aku akan tambah sakit.  Kedua, melihat kondisi keuangan ayah dan ibu, yang aku tahu hutang ayah sepikul untuk modal dagang yang belum lama bangkrut. Pasti akan jadi ga karuh-karuhan keadaannya. Lebih baik aku nikmati saja sakitku ini sendiri.
“ mbak, HP nya berbunyi”.
Suara lembut perempuan cantik, orang yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata, yang ternyata ia adalah seorang perawat tiba-tiba singgah diteligaku. Membuyarkan barisan-barisan kata di benakku.
“assalamu’alaikum. Ibu ada apa?”
“In, kamu sedang apa sekarang?”
“emmm... anu bu... mm.. Indah sedang kerja. Ada apa ya, bu?”
“semanjak kamu kerja di kota, belum pernah hati ibu seresah ini. Apakah kamu baik-baik saja, In?,”
“ bb.. baik, bu. Baik. Ibu jangan khawatir. Sudah ya, bu. Indah kerja dulu”.
            Ya Rabb... ampuni aku yang harus membohongi ibu. Sungguh aku takut ibu khawatir. Masih tampak jelas di mataku, pertengkaran demi pertengkaran menghiasi hari-hari ayah dan ibu semenjak usaha dagangnya bangkrut. Kini mereka sedang berfikir keras untuk membayar hutangnya yang 30 juta di BANK. TV dan kulkas yang kami miliki terjual sudah. Tapi apalah artinya kedua benda itu dibanding dengan jumlah hutang ayah.
            “kenapa kamu membohongi ibumu?”
            Lagi-lagi ada orang yang membubarkan lamunanku. Dokter itu... kapan dia masuk? Dengan senyum yang selalu menghias di wajah teduhnya, kembali dia memeriksa keadaanku.
            “kenapa diam?”
             Seperti sungai di musim kemarau. Tenggorokanku kering, terasa begitu berat bagiku untuk berkata-kata. Aku tidak tau harus berkata apa. Tidak mungkin aku ceritakan keadaan yang sebenarnya. Tapi apa aku harus diam saja? Duh, pusing di kepalaku kini menjadi tiga kali lipat.
            “ya sudah kalau keberatan untuk menjawab, lebih baik kamu istirahat. Sudah malam”.
            Ku tatap kepergian dokter dan perawat itu. Terdengar samar-samar percakapan mereka yang dibuat sepelan mungkin. Tapi telingaku masih sanggup menangkapnya, bahwa sepertinya perawat itu mengkhawatirkan tentang siapa yang akan menyelesaikan administrasiku, jika tak ada keluarga yang tau tentang hal ini.  Lalu... aku harus bagaimana? Sesungguhnya aku sendiri juga ga punya cukup uang. Kurasa lebih baik aku segera pergi saja dari Rumah Sakit ini. Mumpung keadaan sepi. Ku cabut jarum yang ada di pergelangan tanganku. Akhh..  darah tercecer di ruangan putih itu. Dengan sempoyongan menahan sakit, aku terus berusaha untuk lari. Dan... akhh... mataku berkunang-kunang...  lalu... GELAP.

            “akhh...  kepalaku sakit sekali”
            Kubuka mataku pelan. Dan kutemukan diriku kembali di ruangan serba putih. Aneh sekali. Bukankah semalam aku sudah kabur? Kok aku masih di sini...
            “Ke napa? Kamu bingung? Kalau boleh saya tau, apa alasan kamu kabur?”
            Lagi-lagi aku tidak mengerti harus menjawab apa.  Aku benar-benar seperti gadis bodoh. Lama aku terdiam, berfikir keras untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan dokter itu. Akh.. tapi tak jua kutemukan sepatah kata pun. Lalu kuperhatikan dokter itu. Sepertinya dia juga sedang memperhatikan aku dengan heran. Kulihat keningnya berkerut. Mungkin saja dia sedang menunggu jawabku. Dan semakin lama sepertinya semakin bosan menungguku yang membisu. Ingin sekali aku memaki diriku yang sangat bodoh ini.
            “Dokter mana yang mau merawat pasien secara cuma-cuma?”
Entahlah... kenapa kata-kata itu yang tiba-tiba terucap oleh lidahku. Aku tak bisa berfikir lagi. Entahlah aku tidak mengerti. Apakah kata-kata itu tepat untuk aku katakan. Tapi kulihat dokter itu tersenyum menatapku. Wajah teduhnya menenangkan batinku. Hilangkan sejuta kegalauan di jiwaku.
“Dokter yang ada di hadapanmu ini yang siap merawatmu secara cuma-cuma”,
Sungguh tidak kusangka. Hari gini, ada dokter yang mau gratisan di dunia nyata ini. Seperti di senetron saja. Aku gelengkan kepalaku pelan. Sepertinya aku tidak percaya dengan kata-kata dokter itu. Barangkali saja aku yang salah dengar.
“Dok, ada yang mencari”
Perawat cantik itu muncul lagi dengan senyum ramahnya. Masih secantik yang pertamakali aku lihat.
“siapa?
“tidak tau, Dok. Seorang perempuan. Tadi saya suruh nunggu di luar”,
Belum sempat dokter itu keluar, perempuan yang mencari itu sudah masuk. Dokter tampan nan rupawan itu tiba-tiba wajahnya tak seteduh sebelumnya. Dia tampak kaget dan sangat tidak suka dengan kehadiran perempuan itu. Tapi kulihat dia meliriku sebentar. Munkin dia tidak enak terhadapku. Dan dia mungkin tidah suka dengan perempuan yang tidak sopan menemuinya saat dia menangani pasien.
“untuk apa kamu kesini?”
Oh ternyata dokter tampan yang wajahnya teduh itu bisa marah dan ketus juga. Siapa perempuan itu. Kenapa dokter itu sepertinya sangat membencinya. Perempuan itu sangat cantik. Lebih cantik dari perawat tadi. Bajunya terkesan mahal. Sepertinya orang kaya. Tapi di wajah cantiknya aku melihat, sepertinya ada gambaran kesombongan dan keras kepala dari cara dia memandang.
“apa alasanmu menolak pertunangan kita?”
“kamu bicara apa? Aku sedang menangani pasien”,
“lebih pentingkah dia dibanding pertunangan kita?”
“tentu saja”,
“Maksudnya?”
“karena dia adalah... pasien... hatiku...”,
Pasien hati? Dokter itu bicara apa? Apa maksudnya bilang bahwa aku pasien hatinya? Aku sungguh tidak mengerti. Apakah dia jatuh hati padaku? Oh tidak. Itu tidak mungkin. Aku hanya gadis miskin yang dia kasihani. Bukan dikasihi. Aku tidak boleh bermimpi macam-macam. Karena aku tidak pantas untuk seorang dokter setampan dia. Mungkin saja dia bicara seperti itu untuk bersandiwara agar perempuan sombong itu tidak mengharapkannya lagi.
“apa? Perempuan kampungan seperti itu, kamu bilang pasien hatimu? Fauzii... kamu sadar dengan yang kamu katakan? Apa kurangnya aku dibanding dia?”
“sudahlah, Santi. Jangan ganggu hidupku lagi. Aku memang tidak pernah menyukaimu”.
Oh.. ternyata dokter tampan itu bernama Fauzi. Dan perempuan sombong itu bernama Santi. Duh, sepertinya perempuan sombong itu sangat marah. Dia memandangku sangat sinis penuh kebencian. Dan pergi begitu saja sambil membanting pintu kamarku. Dokter Fauzi menatapku lagi. Mau bicara apa dia? Duh, kok aku jadi serba salah seperti ini? Hatiku juga deg-degan. Ku coba untuk biasa saja. Tapi aku semakin bingung harus bersikap seperti apa? Oh Tuhan...
“kenapa? Kamu bingung dengan ucapanku tadi? Itulah kenapa aku mau mengobatimu secara cuma-cuma. Karena kamu adalah pasien hatiku. Kamu mau kan menikah denganku?”
Aku sebenarnya under mind untuk berkata iya. Aku sadar bahwa aku tidak pantas untuknya. Tapi entahlah  ada suatu dorongan yang memaksaku untuk tidak berkata “TIDAK”. Keping hatiku yang rapuh ini terasa tentram melihat wajah teduhnya. Tak ada dayaku untuk menolaknya. Dan akhirnya aku pun tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Wajahkupun merona seperti seorang putri yang sedang jatuh cinta, tersenyum, tersipu di hadapan pangeran cintanya. Aku lupa dengan siapa aku yang sebenarnya.
“pasien hatiku...”,
“dokter cintaku”.

Benar kata temanku sewaktu SMA dulu. Ketika aku mulai bergabung di ROHIS (Rohaniah Islamiah) yang waktu itu aku belum berjilbab dan masih pacaran. Aku di suruh baca buku yang judulnya “Indahnya Pacaran Setelah Menikah”. Kali ini benar-benar merasakan betapa indahnya pacaran setelah menikah. Bersama mas Fauzi hidupku terasa begitu indah. Ketika jalan berdua, masih seperti ABG yang sedang pacaran. Apalagi aku dan mas Fauzi juga belum begitu kenal. Sehingga banyak topik yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Keromantisan sikap mas Fauzi terhadapku di hadapan orang-orang menjadi kebanggaan bagiku. Tidak seperti pacaranku waktu SMA dulu. Ketika tanganku digandeng saja aku sudah sangat gelisah. Takut kalau ada yang melihat.
“pasien hatiku”,
“dokter cintaku”
“aku akan selalu ada saat kau terluka”,
“luka dan perih dalam hatiku selalu sirna saat kau disampingku”,
Mas Fauzi memang benar-benar dokter cintaku. Tidak hanya mengobati luka di kepalaku saat aku kecelakaan dulu. Tetapi dia juga telah mengobati sekeping hati dari hati yang telah hancur dan rapuh. Hati yang sekian lama tidak mengenal cinta. Karena semenjak orangtuaku mengalami musibah, tidak ada lagi kasih sayang dalam keluargaku. Tidak ada kedamaian di sana. Hingga terkadang aku menyalahkan takdir. Menganggap Allah tidak adil. Meski banyak teman yang menasehatiku bahwa itu hanyalah ujian semata. Dan berkali-kali aku mendengar nasehat “ In, Allah berfirman, bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan”. Tapi kata-kata itu hanya seperti angin lalu. Karena waktu itu ayah sangat kasar sikapnya padaku. Ayah menganggapku sebagai beban hidup. Sehingga ayah harus banting tulang untuk mencari biaya hidupku. Dan aku dikatakan sebagai benalu dirumahku sendiri. Waktu itu aku menyalahkan Allah yang melahirkanku ke dunia lewat rahim seorang ibu yang cuek dan seorang ayah yang kasar. Namun sekarang, “Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang engkau dustakan?” firman Allah dalam Q.S. Ar Rahman itu selalu terngiang di kepalaku.
Duhai Allah...
Betapa banyak nikmatmu yang telah aku lupakan...
Ujian yang hanya sejenak itu telah butakan hatiku...
Hatiku yang rapuh telah hancur-berkeping-keping....
Duhai Allah...
Ampunkanlah aku...
Yang telah lama melupakan-Mu...
Kini aku kembali dalam sujudku kepada-Mu
Lihatlah... dengarlah jerit tangis perihnya....
Duhai Allah...
Sucikan kembali SEKEPING HATI yang penuh noda ini....

                                                                                      

By: Inn

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar